Polisi Pemeras Uang Terduga Pelaku Kejahatan Seksual Dihukum 3 Tahun Penjara

Polisi Pemeras Uang Terduga Pelaku Kejahatan Seksual Dihukum 3 Tahun Penjara

Polisi Pemeras Uang Terduga Pelaku Kejahatan Seksual Dihukum 3 Tahun Penjara – Sebuah kasus yang mengguncang publik dan menodai reputasi kepolisian akhirnya mencapai babak akhir di pengadilan. Seorang anggota polisi yang didakwa melakukan pemerasan terhadap seorang pria terduga pelaku kejahatan seksual telah dijatuhi hukuman tiga tahun penjara oleh majelis hakim. Putusan alexa99 ini menjadi sorotan tajam karena melibatkan aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, bukan pelaku kejahatan.


Kronologi Kasus: Pemerasan Bermodus Penegakan Hukum

Kasus ini bermula pada awal tahun 2024 ketika terdakwa, seorang anggota kepolisian berpangkat brigadir, mendapat informasi mengenai seorang pria yang tengah diselidiki atas dugaan pelecehan seksual terhadap seorang remaja perempuan. Bukannya menempuh jalur hukum yang semestinya, polisi tersebut justru melihat peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari situasi tersebut.

Menurut dakwaan jaksa, terdakwa mendatangi keluarga terduga pelaku dan menawarkan “bantuan” agar kasus tersebut tidak diteruskan ke ranah hukum, dengan imbalan uang tunai sebesar Rp150 juta. Ia mengaku memiliki koneksi di kepolisian daerah dan dapat “mengatur” proses penyelidikan agar tidak berlanjut.

Keluarga korban awalnya ketakutan dan sempat mempertimbangkan tawaran tersebut. Namun, setelah merasa tertekan oleh ancaman halus dari terdakwa, mereka akhirnya melaporkan tindakan itu ke unit Profesi dan Pengamanan (Propam).

“Terdakwa menjanjikan bahwa kasus akan ‘diamankan’, tapi kami curiga karena nada bicaranya lebih seperti mengancam daripada membantu,” ujar salah satu anggota keluarga korban saat memberikan kesaksian di pengadilan.


Penggerebekan dan Penangkapan

Setelah laporan diterima, tim Propam bekerja sama dengan penyidik internal untuk mengatur operasi tangkap tangan (OTT). Beberapa hari kemudian, terdakwa tertangkap saat menerima uang dari keluarga terduga pelaku di sebuah kafe di kawasan kota.

Dalam penangkapan tersebut, ditemukan uang tunai Rp50 juta yang telah diserahkan sebagai uang muka, serta percakapan di ponsel terdakwa yang memperlihatkan komunikasi intens terkait “urusan damai”.

Kepolisian langsung menonaktifkan terdakwa dari tugas aktif dan memulai penyelidikan internal, sementara proses pidana dijalankan oleh kejaksaan negeri setempat.

“Kami tidak akan mentolerir tindakan apa pun yang mencoreng nama institusi. Anggota yang bersalah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum,” ujar Kepala Bidang Humas Polda setempat dalam konferensi pers usai penangkapan.


Proses Persidangan: Fakta-Fakta yang Terungkap

Selama persidangan yang berlangsung lebih dari dua bulan, jaksa menghadirkan sejumlah saksi, termasuk keluarga terduga pelaku, penyidik Propam, dan ahli hukum pidana.

Jaksa menegaskan bahwa tindakan terdakwa jelas memenuhi unsur pemerasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP, karena menggunakan jabatannya untuk menekan seseorang agar memberikan uang dengan ancaman akan melanjutkan kasus hukum.

“Terdakwa memanfaatkan kedudukannya sebagai aparat untuk menakut-nakuti warga. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan tindak pidana serius yang merusak kepercayaan publik terhadap kepolisian,” kata jaksa penuntut umum dalam sidang tuntutan.

Sementara itu, pihak pembela berupaya menyatakan bahwa terdakwa tidak bermaksud memeras, melainkan hanya ingin “menyelesaikan perkara secara damai” di luar jalur hukum. Namun, argumen tersebut ditolak oleh majelis hakim karena terbukti bahwa terdakwa meminta sejumlah uang dengan janji mengatur proses hukum—sesuatu yang tidak memiliki dasar legal.

Hakim dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa tindakan terdakwa tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga menodai kehormatan institusi kepolisian dan mencederai rasa keadilan masyarakat.


Vonis: 3 Tahun Penjara dan Pemberhentian Tidak Hormat

Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp50 juta kepada terdakwa, dengan subsider enam bulan kurungan apabila denda tidak dibayar. Selain itu, hakim juga merekomendasikan agar terdakwa diberhentikan tidak hormat dari kepolisian.

“Terdakwa seharusnya menegakkan hukum, bukan memperdagangkannya. Perbuatannya telah menimbulkan keresahan dan merusak citra aparat penegak hukum di mata masyarakat,” ujar hakim ketua saat membacakan amar putusan.

Terdakwa sempat terlihat menunduk dan meneteskan air mata mendengar putusan tersebut. Ia masih memiliki hak untuk mengajukan banding, namun hingga kini belum ada pernyataan resmi dari kuasa hukumnya mengenai langkah selanjutnya.


Reaksi Publik dan Dampak terhadap Reputasi Kepolisian

Kasus ini memicu perdebatan luas di masyarakat mengenai integritas aparat penegak hukum. Banyak warga menilai bahwa meskipun hukuman tiga tahun penjara tergolong ringan, keputusan tersebut tetap menjadi sinyal positif bahwa pelanggaran oleh aparat tidak bisa lagi dibiarkan.

Aktivis anti-korupsi menilai bahwa penegakan hukum internal di tubuh kepolisian harus lebih transparan dan akuntabel. Mereka menyerukan agar setiap kasus serupa diproses secara terbuka dan tidak berhenti hanya pada level pelaku individu.

“Kasus seperti ini bukan hanya tentang satu orang polisi yang salah jalan, tapi juga tentang sistem pengawasan internal yang harus diperkuat. Jika tidak, kepercayaan publik akan semakin menurun,” ujar Andi Wijaya, pengamat hukum dan tata kelola publik.

Beberapa pihak juga menyoroti pentingnya pelatihan integritas dan etika bagi anggota kepolisian, agar tidak tergoda untuk menyalahgunakan kewenangan.


Penegasan Kembali Komitmen Reformasi Institusional

Pihak kepolisian, melalui juru bicaranya, menyatakan bahwa kasus ini menjadi pengingat penting bagi seluruh anggota untuk menjunjung tinggi nilai kejujuran dan profesionalitas.

“Kami terus memperkuat pengawasan internal dan memperbarui sistem pengaduan masyarakat agar setiap indikasi penyalahgunaan wewenang bisa segera ditindaklanjuti,” ujar juru bicara resmi kepolisian.

Selain itu, kepolisian berjanji akan memberikan sanksi tegas kepada siapa pun yang terlibat dalam praktik pemerasan, pungutan liar, atau korupsi di lingkungan penegakan hukum.


Kesimpulan: Keadilan yang Memberi Pesan Tegas

Putusan tiga tahun penjara terhadap polisi yang memeras terduga pelaku kejahatan seksual ini menjadi peringatan keras bahwa kekuasaan bukan alat untuk memperkaya diri. Meskipun jumlah hukumannya masih diperdebatkan, langkah pengadilan menegaskan bahwa tidak ada seorang pun, bahkan aparat sekalipun, yang kebal terhadap hukum.

Kasus ini juga membuka kembali diskusi penting tentang reformasi institusi penegak hukum di Indonesia, di mana transparansi, integritas, dan akuntabilitas harus menjadi fondasi utama. Hanya dengan cara itu, kepercayaan masyarakat terhadap aparat dapat dipulihkan dan dijaga di masa depan.

Post Comment