Pesan Cinta Salgado buat Planet Bumi – Puluhan tahun kisaran bumi, beliau banyak mengabadikan bentrokan serta kehidupan penuh drama
Meski sudah populer selaku juru foto dengan buatan yang hebat, Sabastiao Salgado membuat bumi terkesima dengan gambar petambang kencana bawah tangan di Serra Pelada, Brasil, pada tahun 1986. los303 Dalam demonstrasi” Gold- Serra Pelada Gold Mine” Salgado menunjukkan rekaman visual perjalanannya ke Area Serra Pelada, di mana sepanjang satu bulan beliau bermukim serta melihat dengan cara langsung kehidupan tiap hari pengerukan kencana serta semua lanskap sosial yang tercipta di dekat ekstraksi metal agung itu.
Serra Pelada mulai dibuka pada tahun 1979, dikala seseorang anak yang berenang di bengawan, dengan cara tidak terencana menciptakan gumpalan kencana sebesar 6 gr. Posisi ini lekas bertumbuh jadi pertambangan terbuka terbanyak serta terganas di bumi. Memandang buatan pemilihan Salgado di tempat ini, amat dapat merekontruksi suasana pada era itu. Puluhan ribu kaki terperangkap di lumpur serta mimpi. Sepi serta tanpa suara mesin, cuma gesekan sekop yang digerakkan tangan terasa dari potret- potret buatan Salgado.
Kedatangan orang dalam jumlah besar, dalam barisan jauh, bergelimang lumpur, serta berhimpitan di dekat lubang yang digali di tanah membuktikan kesusahan serta ketidakpastian. Dalam perspekstif yang lain, mendekati semacam petarangan semut di hutan Amazon. Gambar gelap putih Sebastio Salgado ini berkontribusi buat mengabadikan serta tingkatkan pemahaman mengenai situasi penambangan buas di Brasil serta di semua bumi.
Diketahui dunia
Pada tahun 1991, seusai Perang Teluk awal selesai, Salgado berupaya masuk Kuwait yang sedang diwarnai kebakaran tambang minyak mereka. Buat masuk ke negeri itu, beliau mengawali dari ke Arab Saudi serta carter mobil berpenggerak 4 cakra seragam pasir supaya mendekati warna alat transportasi angkatan Amerika Sindikat.
Salgado melukiskan atmosfer dikala itu contoh terletak di pentas besar seukuran Alam dengan sumber minyak yang dibakar di sekelilingnya. Pekatnya asap kebakaran membuat sepanjang berhari- hari cahaya mentari tidak bisa menembusnya.
Kebakaran yang mengaitkan dekat 700 sumber yang dipadati minyak, ialah salah satu musibah area terburuk yang sempat terdapat. Situasinya pula beresiko, beliau apalagi melihat seseorang wartawan serta seseorang juru foto berpulang terserang curahan minyak serta dibakar dikala mereka menyeberanginya.
Suatu gambar sukses beliau dokumentasikan dikala bersama segerombol aparat pemadam kebakaran ahli dari Kanada, yang berupaya menanggulangi sumber minyak yang dibakar. Beliau merekam peperangan para aparat pemadam menanggulangi suasana rancu yang banyak terjalin di tambang minyak di Kuwait.
Kuwait terletak di titik terendah dari cerang minyak Timur Tengah yang besar, alhasil tekanannya amat besar serta mendesak minyak pergi dengan kokoh. Beliau melukiskan situasinya hitam gelap, apalagi tidak bisa mengikuti siapa juga berdialog.
Panasnya temperatur dampak minyak yang dibakar membuat salah satu lensanya membengkok serta cacat. 2 lensa yang tertinggal berdimensi 35 milimeter serta 60 milimeter memaksanya buat senantiasa dekat dengan subyek fotonya. Suatu gambar seseorang pemadam yang” senyap” memandang bongkahan api pergi dari pipa yang terkini saja dibakar mengisyaratkan upaya serta peperangan dan resiko para pemadam ini.
Tetapi untuk Salgado, terdapat satu gambar yang bagi ia eksklusif, foto
usaha luar lazim dari 2 orang yang berupaya menutup sumber. Badan mereka tertutup minyak serta salah satu dari mereka berdiri semacam arca yang menghitam.
Gelap putih
Memandang buatan Salgado, kita hendak dihadapkan pada lukisan jelas kehidupan dalam bentuk hita putih. Seluruh ciptaannya terbuat dalam gelap putih. Opsi pada warna monokrom ini mengisyaratkan dari 2 mutu lain yang dipunyai Salgado, ketabahan serta rasa mau ketahui.
Ketabahan serta Fokus yang diperlukan buat senantiasa terletak di satu tempat, berupaya memandang lebih jauh dari opini awal, dan memforsir diri buat memandang subyek dengan metode yang berlainan. Mencermati dalam alam sinar yang berlainan, kemudian balik serta memandang lagi, merupakan mutu berarti dalam diri artis hebat mana juga.
Kesabarannya ialah sesuatu tindakan yang tidak sering terjalin, serta bisa jadi apalagi lebih tidak sering terjalin dalam warga modern kita yang saat ini selalu menuntut kebahagiaan praktis. Berminggu- minggu, bukan hitungan jam yang dihabiskan di Serra Pelada, yang membolehkan Salgado buat menyelami lebih dalam, melewati keadaan yang cetek, serta mengaitkan kita dengan buah pikiran mengenai kegiatan, martabatnya, serta degradasinya.
Salgado mempunyai ketertarikan yang mendalam dengan subyeknya, dengan orang serta metode mereka berupaya buat bertahan hidup. Dalam pikirannya merupakan buat memandang serta tidak menoleh, buat lalu memandang serta menata subyek di depan kameranya jadi pola yang menekankan serta memperjelas arti yang sudah diramalkannya, narasi yang mau disampaikannya.
Deskripsi Salgado mengenai rasio lanskap merupakan suatu yang bisa jadi sempat kita natural dalam potret- potret gelap putih bentuk besar Halaman Nasional Yosemite buatan Ansel Adams. Tetapi di mari, perihal yang monumental itu di informasikan lewat kamera kepal 35 milimeter kepunyaan seseorang wartawan.
Ketabahan, rasa mau ketahui, komitmen, serta kemampuan metode dipadukan dengan keahlian buat memadankan jadi deskripsi yang mengharukan. Kemauan buat mempelajari disertasi yang dipegang konsisten mengenai bumi yang berganti serta setelah itu mengomunikasikannya, buatnya relevan dengan uraian kita mengenai pergantian geopolitik.
Buatan monumental
Dalam ekspedisi kariernya, segudang buatan sudah dihasilnya seseorang Salgado, namun terdaftar paling tidak terdapat 3 cetak biru waktu jauh yang muncul. Novel bertajuk Worker yang diterbitkan pada tahun 1993, bermuatan ekspedisi Salgado mengabadikan metode hidup pekerja buku petunjuk yang mulai lenyap di semua bumi. Novel ini merekam kegiatan pekerja di 23 negeri, tercantum Indonesia. Gambar 2 petambang sulfur di bawah kawah Gunung Ijen yang penuh asap sulfur membuka seri dokumentasinya mengenai Indonesia.
8 gambar yang diseleksi berupaya melukiskan peperangan pekerja mengutip sulfur dari bawah kawah, yang dibawa dengan metode dipikul, menapaki jalur berbatu ke pucuk gunung hingga di pengepul. Dalam novel ini, seri pemilihan mengenai petambang Ijen dilanjutkan dengan seri pemilihan penambangan kencana bawah tangan di Serra Palada.
Buatan monumental lain dari Salgado merupakan Exodus yang pula diketahui selaku Migrations ataupun Sahel,
yang mengabadikan banyak orang yang lagi transit, tercantum pengungsi serta masyarakat wilayah cemar. Banyak cerita pergerakan orang yang membentangkan di semua bumi dalam novel ini. Negeri Rwanda jadi salah satu seri di novel ini, yang melukiskan banyak orang yang meninggalkan rumah mereka serta menggambarkan cerita yang serupa: kekurangan, kesusahan, serta secercah impian, yang wakili gambar ekspedisi yang keras serta raga yang hebat.
Salgado menghabiskan 6 tahun bersama banyak orang migran, mendatangi lebih dari 35 negeri buat mengabadikan perpindahan di jalur, di barak pengungsian, serta di wilayah cemar kota yang penuh ketat tempat para pendatang terkini. Proyeknya mencakup banyak orang Amerika Latin yang merambah Amerika Sindikat, banyak orang Ibrani yang meninggalkan sisa Uni Soviet, banyak orang Kosovo yang melarikan diri ke Albania, para pengungsi Hutu dari Rwanda, dan” orang perahu” awal dari banyak orang Arab serta Afrika sub- Sahara yang berupaya menggapai Eropa lewat Laut Tengah.
Buatan terbanyak terakhir dari Salgado merupakan cetak biru Genesis. Seri ini banyak menggugah serta mempersoalkan ikatan kita( orang) dengan Alam serta pangkal dayanya. Ini berlainan dari seri- seri lebih dahulu yang membuktikan bumi mengenai bentrokan serta peperangan keras orang buat bertahan hidup.
Lewat Genesis beliau memusatkan atensi serta keberpihakan bumi pada alam, pada keelokan alam. Ini pula dibarengi dengan upaya Salgado memperjuangkan penanaman tumbuhan di tanah pertanian kepunyaan keluarganya di Brasil dalam bagan menghidupkan balik wilayah yang sudah hadapi pembabatan hutan. Salgado serta istrinya, Leila Wanick, mendirikan Instituto Terra, yang mengiklankan penghijauan serta pembelajaran area.
Sepanjang ini, Instituto Terra sudah menanam lebih dari 3 juta tumbuhan di kota Aimores, yang terdapat di wilayah yang tadinya kira- kira hening di perdesaan Negeri Bagian Minas Gerais, Brasil, tanah kelahiran Salgado. Usaha Instituto Terra buat menghidupkan balik hutan yang lenyap di Minas Gerais, berhasil serta diiringi oleh lebih dari 3. 000 owner tanah.
Genesis ini digarap sepanjang 8 tahun( 2004- 2012) bersama istrinya. Cetak biru ini ialah ekspedisi visual ke bagian- bagian bumi yang sedang natural, dengan tujuan penting buat membuktikan keelokan serta kedamaian planet ini saat sebelum akibat besar dari peradaban modern. Dibantu Terra Instituto, pendamping itu melaksanakan lebih dari 30 ekspedisi dengan berjalan kaki, pesawat enteng, kapal laut, bahtera, serta apalagi gelembung hawa, buat menghasilkan koleksi gambar yang membuktikan keelokan alam, binatang serta warga adat yang luar biasa. Mereka pula mengajak bumi membalikkan kehancuran yang terdapat serta melestarikannya buat era depan.
Papua yang diwakili kehidupan kaum Korowai yang dikunjungi Salgado pada tahun 2010 serta kaum Mentawai di Sumatera yang pula dikunjungi Salgado pada tahun 2008 menggantikan Indonesia dalam cetak biru” Genenis”.
Kehidupan istimewa kaum Korowai di tengah hutan Papua ditafsirkan perinci dalam novel ini melalui seri pemilihan gambar. Kaum Korowai yang awal mulanya memiliki karakteristik khas rumah di atas tumbuhan ini diabadikan sebesar 36 gambar yang melukiskan flora, fauna, dan Kerutinan tiap hari kaum dalam bertahan hidup. Gambar seseorang badan kaum yang memanggul babi hutan hasil mangsa, memanggul biawak, atau dikala membuat bertam serta gimana kaum ini membuat rumah mereka yang terletak di ketinggian ditafsirkan melalui gambar gelap putih.
Ada pula kaum Mentawai ditafsirkan dalam novel Genesis dalam 13 gambar. Keelokan alam, dan adat mencari ikan dengan metode menangkap atau dengan akar- akar tumbuhan jadi narasi penting kaum di banat pantai Sumatera Barat ini. Keahlian mencari dan karakteristik khas tato di tubuh kaum Mentawai tampak dari opsi gambar yang diperlihatkan.
Pada tahun 2015, Salgado menerbitkan novel bertajuk The Scent of A Dream, Travels in The World of Coffee. Berlainan dengan buku- bukunya terdahulu, novel berjudul kopi ini lebih enteng isinya. Menunjukkan industrialisasi kopi dari bermacam bagian, paling utama kehidupan orang tani serta perkebunan kopi di bermacam bagian bumi. Novel ini terbuat di dikala Salgado merambah era pensiun dari aktivitas memfoto kisaran bumi.
Indonesia yang jadi salah satu produsen kopi bumi pula ikut memberi warna isi novel ini. Terdaftar Salgado mengabadikan kehidupan orang tani di perkebunan kopi di sebagian area, semacam Lapangan Besar Gayo, Toraja, serta beberapa area lain di Pulau Sumatera.
Dikala kedatangannya di Indonesia pada tahun 2010, Salgado mengidap malaria yang didapatnya dikala terletak di banat hutan Papua. Komplikasi yang akut sebab malaria sudah menimbulkan penyakit leukimia yang memberhentikan abdi Sebastian Salgado kepada alam.
Salgado tewas di umur 81 tahun. Informasi gelisah ini diumumkan oleh Perguruan tinggi Seni Muka Perancis serta Instituto Terra pada Jumat( 23 atau 5 atau 2025). Kepergiannya bukan cuma kehabisan besar untuk bumi gambar jurnalistik serta dokumenter, melainkan pula untuk alam yang jadi atensi di akhir hayatnya. Serta novel Genesis seakan jadi pesan cinta Salgado buat berpamitan pada planet Alam.
Dalam bumi fotografi dokumenter, julukan Sebastião Salgado berdiri kuat selaku simbol manusiawi, keelokan alam, serta perlawanan kepada ketidakpedulian garis besar. Lewat lensa kameranya, beliau sudah mendokumentasikan berpenyakitan para pengungsi, keletihan para pekerja tambang, dan kehidupan suku- suku terasing yang sedang bersinggungan langsung dengan alam. Tetapi, terdapat satu cetak biru monumental yang men catat pucuk kebatinan serta penuh emosi ekspedisi kariernya: Genesis. Suatu buatan fotografi yang oleh Salgado sendiri diucap selaku“ pesan cinta buat planet kita”.
Genesis bukan semata- mata cetak biru seni. Beliau merupakan wujud kesedihan, perenungan, serta impian. Salgado mengosongkan durasi lebih dari 8 tahun buat menjelajahi lebih dari 30 negeri, mendokumentasikan bagian- bagian Alam yang sedang“ gadis”— belum terharu oleh kemodernan. Beliau menapaki hutan Amazon, menaiki Pegunungan Altai, melewati lapangan Arktik, sampai masuk ke banat Afrika yang belum terjamah. Hasilnya: lebih dari 200 gambar gelap putih yang bukan cuma membekuk keelokan alam, namun pula menyuarakan catatan kokoh mengenai ikatan orang dengan area.
Balik ke Pangkal, Balik ke Alam
Salgado tidaklah juru foto lazim. Beliau seseorang ahli ekonomi yang setelah itu memilah kamera selaku perlengkapan perlawanan. Beliau sempat melihat bentrokan bersenjata di Rwanda serta kekeringan di Sahel, kemudian hadapi tekanan mental berat. Bumi yang dilihatnya sangat hitam, sangat menyakitkan. Tetapi dikala beliau balik ke desa tamannya di Brasil pada akhir 1990- an, suatu pergantian besar terjalin. Hutan tempat beliau dibesarkan sudah botak, tanahnya tandus, hewan- hewan musnah. Bersama si istri, Lélia Wanick Salgado, mereka menyudahi melaksanakan penghijauan kepada tanah kakek moyang mereka. Cetak biru ini setelah itu melahirkan Instituto Terra— badan area hidup yang sudah menanam jutaan tumbuhan serta memperbaiki ekosistem seluas lebih dari 7. 000 hektare.
Cetak biru Genesis lahir dari alih bentuk individu itu. Bila lebih dahulu Salgado memfoto beban orang, saat ini beliau memfoto kekuatan alam. Beliau mau membuktikan kalau sedang terdapat impian, kalau Alam belum seluruhnya cacat, kalau sedang terdapat tempat yang bagus serta asli— andaikan orang ingin berganti.
Membekuk yang Tidak Terucap
Fotografi Salgado tidak bercorak, tetapi malah di situlah kekokohannya. Dalam gelap serta putih, perinci jadi lebih dalam, marah lebih jelas, serta durasi seakan menyudahi. Lukisan gletser yang retak, kaum Zoé yang lagi memanah, sekumpulan penguin yang berenang di laut dingin— seluruhnya memandang kita, menantang kita buat merenung.
“ Lewat Genesis, aku mau memfoto planet kita begitu juga terdapatnya saat sebelum orang mengubahnya,” ucap Salgado dalam suatu tanya jawab.“ Aku mau membuat orang jatuh cinta pada Alam semacam aku jatuh cinta padanya.”
Catatan itu tersampaikan dengan amat kokoh. Tidak terdapat perkata dalam potret- potret Salgado, namun tiap lukisan merupakan perkataan, tiap sinar merupakan sela waktu, serta tiap bayang- bayang merupakan arti. Beliau tidak mengajari, tidak mempersalahkan, namun mengajak— buat memandang, merasa, serta kesimpulannya hirau.
Relevansi di Tengah Darurat Iklim
Apa yang dicoba Salgado terasa kian relevan di tengah darurat hawa yang bertambah memburuk. Gelombang panas, banjir bandang, pencemaran hawa, serta kepunahan genus sudah jadi realitas tiap hari. Tetapi ironisnya, bumi terus menjadi padat jadwal mencari pemecahan teknologi besar— dari geoengineering sampai kolonisasi Marikh— sedangkan melalaikan kalau Alam sendiri sedang dapat diselamatkan.
Genesis tidaklah nostalgia, melainkan peringatan serta bujukan buat berperan. Melalui foto- fotonya, Salgado seolah mengatakan:“ Simaklah, seluruh ini sedang terdapat. Tetapi tidak hendak bertahan lama bila kita lalu merusaknya.”
Beliau pula menerangi kedudukan warga adat dalam melindungi kelestarian area. Suku- suku semacam Yanomami, Himba, serta Papuan jadi ikon hidup dari keseimbangan antara orang serta alam. Salgado tidak menunjukkan mereka selaku“ eksotik” ataupun“ tunagrahita”, namun selaku pengawal peninggalan yang bernilai— suatu yang sudah lama dibiarkan bumi modern.
Peninggalan serta Harapan
Cetak biru Genesis setelah itu dipamerkan di bermacam galeri bumi, diterbitkan dalam novel tebal bertajuk serupa, serta apalagi jadi bagian dari kurikulum pembelajaran area di sebagian negeri. Tetapi lebih dari seluruh pendapatan itu, peninggalan terbanyak Salgado merupakan pemahaman terkini: kalau seni dapat jadi perlengkapan pembelaan, kalau fotografi dapat memegang batin.
Sebastião Salgado saat ini sudah merambah umur petang, namun antusiasnya senantiasa menyala. Beliau sedang berdialog di forum- forum global, sedang mengupayakan proteksi hutan hujan serta hak warga adat. Beliau tidak mau Genesis jadi cetak biru terakhirnya, namun dini dari aksi garis besar— aksi yang tidak cuma memercayakan teknologi, namun pula cinta serta empati kepada planet ini.
Penutup: Cinta yang Tidak Sempat Usang
“ Alam bukan peninggalan dari kakek moyang kita, namun pinjaman dari anak cucu kita,” begitu peribahasa Indian kuno yang kerap diambil para penggerak area. Serta Salgado sudah menjawabnya dengan buatan: beliau mengembalikan hutan, merekam keelokan, serta mengantarkan catatan dengan lensa yang jujur.
Pesan cinta Salgado buat Alam bukan ditulis dengan perkata, melainkan dengan sinar serta durasi. Beliau tidak tertuju cuma buat angkatan hari ini, namun buat seluruh angkatan yang hendak tiba. Dalam bumi yang terus menjadi berisik oleh retorika serta kekalutan, suara sepi dari foto- fotonya malah terdengar sangat keras.
Bisa jadi, begitu juga cinta asli, catatan Salgado simpel: kenalilah, cintailah, serta jagalah— saat sebelum seluruhnya telanjur.