slot gacor slot gacor terbaru slot gacor 2025 alexa slot alexa99
Home » Blog » Omah Library, Wisata Arsitektur dan Pustaka
Posted in

Omah Library, Wisata Arsitektur dan Pustaka

Omah Library, Wisata Arsitektur dan Pustaka

Omah Library, Wisata Arsitektur dan Pustaka – Sjarief mendirikan Omah Library dengan tangan dinginnya sebagai arsitek.

Sjarief mendirikan Omah Library dengan tangan dinginnya sebagai arsitek. Ia mengagumi gali77 dengan kediaman YB Mangunwijaya lalu menyulap material murah menjadi bangunan memukau.

Di Omah Library, pengunjung tak hanya bisa menjelajahi ribuan bukunya. Perpustakaan di Tangerang, Banten, itu juga mengasyikkan untuk dieksplorasi lantaran keestetikannya. Mereka juga bisa mengakses studio rancang bangun, kafe, dan ruang menonton.

Kekaguman sontak menyeruak seiring memasuki perpustakaan yang tak sekadar nyaman, terang, dan sejuk, tetapi juga mentereng. Tak mesti bermaterial mahal, Omah Library, yang juga disebut Guha The Guild itu, umpamanya, terdiri atas beton, berikut improvisasi dengan dilapis, dirol, atau diaci.

Kolom-kolom bambu dengan besi perforated atau berlubang-lubang yang bersanding dan kayu lapis ikut menghiasi interiornya. Omah Library bak menyuguhkan ketukangan yang sangat khas Indonesia. Mediumnya boleh jadi sekadar ruang baca, tetapi permainan skala yang diterapkan begitu kaya.

Omah Library memang tak sekadar menggelar ruang baca dengan menekankan ketenangan atau mindfulness. Pengunjung tak terkotak-kotak dalam dinding, atap, dan lantai yang monoton. Listrik pun lebih hemat dengan sedikit pendingin ruangan yang ditambah beberapa kipas angin.

Pengunjung seolah dilayani dengan komposisi warna, perabot, dan pencahayaan yang membuat rileks. Mereka pun bisa memesan makanan dan minuman lalu menikmatinya di ruang tertentu. ”Kami juga ada air mineral gratis. Bisa minta saya atau staf lain nanti dibawakan,” ucap Aldian Dwi Putra (24) dengan ramah.

Buku mahal

Realrich Sjarief (43) mendirikan Omah Library yang berawal dari perbincangan reflektif. Ia bersama sahabat-sahabatnya mengamati buku-buku yang mahal. ”Kalau beli buku arsitektur dari luar negeri, harganya Rp 1,5 juta. Bisa sampai Rp 3 juta. Jadi, pengin punya sendiri,” ujarnya.

Di Omah Library, ada buku yang harganya hanya Rp 120.000, bahkan Rp 100.000. Sjarief pun membuka pintu untuk mahasiswa sehingga mereka bisa mengakses bacaan bermutu. Ia juga terus memperbarui buku-bukunya. Seusai pandemi, Sjarief dan timnya berembuk untuk pelan-pelan membuka perpustakaan.

Pengunjung makin banyak jadi Omah Library diperluas. Bertahap sejak tahun 2022. Penulisan dan penjualan buku tetap ada,” ucapnya. Jumlah pengunjung dibatasi 15 orang per sesi sehingga keheningan terjaga. Tersedia sesi pada pukul 10.15-12.15, 13.30-15.30, dan 16.00-18.00. Mereka dikenai donasi Rp 35.000 per orang. Masyarakat yang kurang mampu bisa difasilitasi sehingga tak perlu merogoh koceknya.

Sjarief menyulap material murah lewat eksperimen menjadi bangunan yang memukau. Ia mendirikan Omah Library yang artistik dengan tangan dinginnya sebagai arsitek. ”Saya juga punya ketertarikan khusus dengan edukasi. Ya, mulai dari subyek yang saya suka saja,” tuturnya.

Sjarief mengagumi kediaman YB Mangunwijaya di Yogyakarta. Ia memetik ilmu dari humanis yang juga arsitek tersebut dengan merealisasikan teknik yang sebenarnya sangat simpel. Metode Romo Mangun, demikian sapaan akrabnya, bisa diaplikasikan pula di rumah-rumah yang sederhana.

”Pakai bambu dan kayu juga. Bukan yang sophisticated (rumit), gitu. Saya bisa mempraktikkan arsitektur yang melayani. Lebih menjamah atau aktif,” ucapnya. Di Omah Library, pengunjung juga bisa menonton dokumenter gratis selama lebih kurang 20 menit yang pernah ditayangkan platform tontonan berbayar atau OTT ternama.

Di basemen paling bawah dengan panjang sekitar 20 meter dan lebar 5 meter, terpampang televisi layar lebar dengan buku-buku yang tetap bertengger di temboknya. Lego, tenis meja mini, Jenga, pedang-pedangan, buku anak, dan papan tulis kecil juga tersedia untuk tetamu cilik.

Di sudut lain, lebih dari 100 mainan dinosaurus mini dipajang di tiga rak. Sementara, telepon antik dengan gagang berikut pemutar untuk memilih nomor-nomornya, kamera poket kuno, dan jam yang artistik turut menghiasi sekat-sekat di antara deretan buku.

Spot foto
”Pengunjung paling banyak, anak muda yang cari spot foto. Kalau sudah akhir pekan, wah, beragam banget pengunjungnya,” ucap pegawai Strategic Omah Library, Jocelyn Emilia. Sebagian pengunjung mengajak keluarga besar, termasuk kakek dan neneknya. Beberapa ruang Omah Library berlantaikan kaca.

Seraya tersenyum, Jocelyn mengenang anak-anak yang terpaksa digendong orangtuanya. Mereka takut melangkah di atas lempengan transparan yang menampakkan ketinggian. Demikian pula sejumlah manula itu yang dituntun anak-anaknya atau beringsut dengan memegang furnitur.

Selintas kebisingan sesekali meningkahi perpustakaan dengan ulah anak-anak, tetapi mereka segera diingatkan ayah atau ibunya untuk tenang. ”Tentu, mereka punya kesadaran. Anak-anak muda juga bikin konten sambil jalan-jalan. Enggak apa-apa, tapi jangan sampai mengganggu,” tuturnya.

Sejumlah pegawai yang dibebaskan bekerja di mana saja atau work from anywhere (WFA) juga datang secara berkala. Mereka bisa mampir dua hingga tiga kali seminggu. ”Selain WFA, juga WFC (work from cafe atau bekerja di kafe). Syukurlah, sejauh ini belum ada buku yang sampai rusak,” ucapnya.

ak hanya pustaka, Omah Library memang membentangkan wisata arsitektur. Kadang, ia mengantar mereka yang berminat menyinggahi studio dan kantor di bangunan yang sama. ”Enggak cuma duduk dan baca buku di perpustakaan, mereka juga naik ke atas,” ucapnya.

Profesi pengunjung pun beragam, antara lain, karyawan teknologi informasi, pengembangan bisnis, mahasiswa, dan kreator konten. “Mereka tetap antusias, malah tertarik sama arsitektur. Hanya, kalau pinjam buku, tidak bisa. Sistemnya belum support (mendukung),” ucapnya.

Di pengujung sesi, pengunjung ditawari untuk menulis testimoni. Sebagian dinding Omah Library tampak sesak digantungi kertas yang turut mencantumkan nama dan profesi mereka. ”Kira-kira, punya saran apa atau ada yang perlu ditambahkan supaya kalau mereka datang lagi bisa lebih nyaman,” ucapnya.

Ia menikmati kesehariannya sebagai pustakawan dengan fleksibilitas ruang-ruangnya yang luas dan nyaman. Lantunan instrumentalia ala studio global asal Jepang, Ghibli, juga sungguh menenangkan. ”Kalau kantor biasa, disekat-sekat,” ucap Jocelyn yang bergabung dengan Omah Library sejak akhir tahun 2023 itu.

Wisata tidak selalu identik dengan pantai, gunung, atau pusat perbelanjaan. Dalam beberapa dekade terakhir, muncul tren baru yang memperkaya pengalaman pelancong: wisata arsitektur dan pustaka. Wisata jenis ini menawarkan kesempatan untuk menyelami sejarah, budaya, dan intelektualitas suatu tempat melalui bangunan-bangunan bersejarah dan pusat-pusat literasi, seperti perpustakaan, rumah baca, dan toko buku klasik.

Wisata arsitektur dan pustaka bukan hanya tentang menikmati estetika bangunan atau koleksi buku yang luas. Ini adalah perjalanan menyusuri kisah masa lalu, menelusuri narasi yang tertulis di dinding bangunan, dan membuka cakrawala melalui buku-buku yang menjadi saksi zaman.

Menelusuri Arsitektur Bersejarah
Arsitektur adalah ekspresi budaya yang tertuang dalam bentuk fisik. Setiap bangunan memiliki cerita yang mencerminkan zamannya, nilai-nilai masyarakat, dan bahkan tantangan yang dihadapi dalam proses pembangunannya. Oleh karena itu, menjelajahi kota atau daerah melalui pendekatan arsitektural menjadi cara unik untuk memahami warisan budaya suatu bangsa.

Kota-kota seperti Yogyakarta, Bandung, dan Semarang di Indonesia, serta Barcelona di Spanyol atau Praha di Republik Ceko, memiliki kekayaan arsitektur yang luar biasa. Di Yogyakarta, misalnya, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mencerminkan gaya arsitektur tradisional Jawa dengan filosofi tata ruang yang sarat makna spiritual dan sosial. Sementara di Bandung, pengaruh kolonial Belanda sangat kental melalui bangunan bergaya Art Deco yang tersebar di sepanjang Jalan Asia Afrika.

Wisatawan yang tertarik dengan arsitektur biasanya menyusun perjalanan berdasarkan landmark bangunan, seperti gereja tua, gedung pemerintahan bersejarah, stasiun kereta antik, atau bahkan rumah-rumah tua di kawasan pemukiman yang masih terjaga. Dengan mengunjungi tempat-tempat ini, pelancong dapat memahami dinamika sejarah suatu wilayah, dari kolonialisasi hingga modernisasi.

Perpustakaan dan Pusat Literasi sebagai Destinasi Wisata
Seiring meningkatnya minat terhadap literasi dan budaya baca, banyak pelancong mulai menjadikan perpustakaan dan toko buku sebagai destinasi utama. Perpustakaan tidak lagi sekadar tempat membaca, tetapi menjadi ruang publik yang menawarkan pengalaman estetik dan intelektual.

Salah satu contoh paling ikonik adalah Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta. Gedung tinggi menjulang ini tidak hanya menyimpan jutaan koleksi buku, tetapi juga dirancang dengan konsep modern, lengkap dengan galeri budaya, ruang diskusi, dan fasilitas multimedia. Pengunjung dapat mengakses arsip digital, mengikuti diskusi publik, atau sekadar bersantai di area baca sambil menikmati panorama kota dari lantai atas.

Di luar negeri, perpustakaan seperti Trinity College Library di Dublin, Irlandia, atau Bibliothèque Sainte-Geneviève di Paris, Prancis, menarik ribuan wisatawan setiap tahunnya. Daya tarik mereka bukan hanya pada koleksi buku langka, tetapi juga pada keindahan interior dan nilai sejarah bangunan tersebut.

Toko Buku Klasik dan Rumah Penulis
Tak kalah menarik adalah toko-toko buku klasik dan rumah-rumah yang pernah ditinggali oleh sastrawan atau tokoh budaya. Di Jakarta, ada toko buku lawas seperti Galeri Buku Bengkel Deklamasi atau Toko Buku Walisongo di Pasar Senen yang telah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Pengunjung bisa menemukan buku-buku langka, majalah lawas, hingga arsip sastra Indonesia yang sulit ditemukan di tempat lain.

Sementara itu, di Ubud, Bali, rumah para penulis dan seniman menjadi bagian dari wisata budaya. Ubud Writers & Readers Festival yang digelar setiap tahun menjadi magnet wisatawan dari dalam dan luar negeri yang ingin menikmati atmosfer intelektual dan kesusastraan di tengah keindahan alam.

Mengunjungi rumah tokoh sastra seperti Museum Chairil Anwar atau Museum Pramoedya Ananta Toer di Indonesia dapat menjadi pengalaman yang menggugah. Di sana, wisatawan bisa melihat langsung ruang kerja, koleksi buku pribadi, dan naskah-naskah asli karya mereka.

Arsitektur Perpustakaan Masa Kini
Yang menarik, kini banyak perpustakaan dan pusat pustaka yang dirancang dengan pendekatan arsitektur kontemporer. Bangunan-bangunan ini tidak hanya menjadi pusat baca, tetapi juga ikon kota. Misalnya, Oodi Library di Helsinki, Finlandia, merupakan contoh sempurna bagaimana desain modern, teknologi, dan keterbukaan publik berpadu dalam sebuah ruang literasi.

Di Indonesia, tren serupa juga mulai muncul. Misalnya, Microlibrary di Bandung hasil desain SHAU Architects yang terbuat dari balok es krim daur ulang, mencerminkan semangat keberlanjutan sekaligus mempercantik lingkungan sekitar. Perpustakaan semacam ini menunjukkan bahwa literasi dan arsitektur bisa menjadi alat perubahan sosial dan edukasi masyarakat.

Dampak Sosial dan Budaya
Wisata arsitektur dan pustaka tidak hanya berdampak pada sektor pariwisata, tetapi juga berkontribusi pada pelestarian budaya dan peningkatan literasi. Dengan mendatangkan wisatawan ke tempat-tempat pustaka dan bangunan bersejarah, perhatian publik terhadap pentingnya konservasi meningkat. Pemerintah dan masyarakat lokal terdorong untuk merawat dan mengembangkan potensi budaya mereka.

Selain itu, kegiatan ini membuka ruang interaksi lintas budaya. Wisatawan yang datang dengan motivasi intelektual cenderung terlibat dalam diskusi, lokakarya, atau bahkan penelitian, menciptakan ekosistem wisata yang lebih inklusif dan berdampak jangka panjang.

Kesimpulan
Wisata arsitektur dan pustaka merupakan alternatif cerdas dan bermakna dalam dunia pariwisata modern. Ia menawarkan perpaduan antara estetika bangunan, kekayaan sejarah, dan semangat literasi yang jarang ditemukan dalam bentuk wisata lain. Melalui kunjungan ke gedung-gedung bersejarah, perpustakaan, toko buku klasik, dan rumah para tokoh budaya, wisatawan tidak hanya mendapatkan pengalaman visual, tetapi juga pemahaman mendalam tentang nilai dan identitas suatu masyarakat.

Dengan terus mengembangkan dan mempromosikan jenis wisata ini, kita tidak hanya menghidupkan kembali warisan budaya, tetapi juga membangun masa depan yang lebih sadar akan pentingnya pengetahuan dan pelestarian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *