Lebih dari Sekadar Feed: Media Sosial dan Ancaman Nyata bagi Perempuan Pakistan
Media sosial, yang awalnya digadang bisa jadi jembatan komunikasi dan ruang berekspresi tanpa batas, ternyata menyimpan wajah lain yang jauh dari kata menyenangkan—khususnya bagi perempuan di Pakistan. Fenomena ini bukan sekadar isapan jempol atau wacana yang lewat di timeline; terlalu banyak kisah nyata sampai statistik yang bikin merinding soal bagaimana media sosial memperburuk keamanan, kesejahteraan mental, bahkan privasi perempuan.
Realita: Media Sosial Bukan Zona Aman
Siapa sih yang nggak suka scroll-scroll di Instagram atau update story di Facebook? Tapi untuk banyak perempuan di Pakistan, aktivitas sederhana ini justru jadi ranah penuh risiko. Menurut laporan Digital Rights Foundation (DRF) pada 2024, lebih dari 70% perempuan yang aktif secara daring di negara tersebut pernah mengalami pelecehan secara online. Bentuknya bisa berupa komentar seksis, doxing, hingga ancaman kekerasan fisik yang benar-benar nyata di dunia offline.
Salah satu kasus yang cukup viral tahun lalu—dan bikin netizen heboh—adalah ancaman terhadap seorang jurnalis muda yang ditarget oleh akun anonim di Twitter. Sekadar mengangkat isu sensitif saja cukup membuatnya menerima ratusan pesan berisi intimidasi dan pelecehan, bahkan sampai foto serta alamat rumahnya disebarluaskan. Hal ini dibenarkan oleh Sarah Zaman, director untuk Amnesty International Pakistan, “Internet seharusnya jadi ruang aman bagi semua. Nyatanya, justru banyak perempuan memilih membatasi diri, bahkan menghilang dari media sosial karena ketakutan.”
Double Standard dan Budaya Patriarki
Cukup menarik, aturan tak tertulis soal perilaku perempuan di dunia nyata ternyata terbawa bahkan makin diperkuat di ranah maya. Ada double standard yang sangat kental—konten selfie perempuan bisa dengan mudah di-judge tak bermoral, sementara akun laki-laki dibiarkan tanpa komentar. Para pelaku doxing dan trolling bahkan sering berlindung di balik dalih moralitas, padahal sebenarnya cuma ingin menekan suara perempuan.
Selain itu, privilege teknologi juga nggak dinikmati merata. Untuk sebagian besar perempuan, akses internet masih dianggap mewah. World Economic Forum tahun 2023 menyebutkan bahwa hanya sekitar 35% perempuan Pakistan yang punya akses rutin ke internet, jauh di bawah rata-rata global. Artinya, beban dan risiko jadi ganda: mereka yang punya akses, justru lebih sering jadi target kekerasan daring, sementara yang tidak, tertinggal dari dunia luar.
Keamanan Digital Masih Dianggap Sepele
Berharap polisi atau institusi hukum bergerak cepat? Sayangnya, respons negara sering datang telat bahkan minim pemahaman tentang cyber harassment itu sendiri. Seringkali kasus ditutup tanpa keadilan jelas, atau korban malah disalahkan karena “membuka aib” di ruang publik. Justru, komunitas-komunitas akar rumput seperti Digital Rights Foundation dan Aurat Foundation yang konsisten memberi edukasi digital hygiene, menyadarkan perempuan tentang pentingnya mengatur privasi akun, serta meneguhkan dukungan solidaritas sesama pengguna.
Tidak sedikit inisiatif mandiri muncul, seperti coaching cara mengidentifikasi phishing, membuat password aman, hingga mengarsipkan bukti pelecehan untuk pelaporan. Namun, apakah itu cukup untuk mengimbangi masifnya arus cyberbullying? Jawabannya, menurut analisis University of Oxford pada 2024, ekosistem hukum digital di Pakistan masih jauh tertinggal—sehingga pelaku merasa bebas melakukan intimidasi tanpa takut hukuman.
Dampak Mental dan Sosial: Tak Sekadar Malu, Bisa Trauma
Perlakuan tidak menyenangkan yang dialami perempuan Pakistan di media sosial bukan main-main efeknya. Survei Gallup Pakistan di awal 2025 mengungkapkan, lebih dari 60% perempuan yang mengalami pelecehan daring menunjukkan gejala stres, anxiety, bahkan depresi berat. Bukan sedikit pula yang mengalami gangguan tidur, relasi sosial yang memburuk, hingga memilih isolation digital.
Satu contoh nyata datang dari Fatima, seorang mahasiswa di Lahore, yang memutuskan menghapus akun media sosial setelah keluarganya ikut diteror oleh pelaku. “Rasanya tidak ada satupun ruang yang benar-benar aman, bahkan ketika aku hanya ingin berbagi cerita sehari-hari. Tekanan sosial sangat berat, kadang lingkungan sendiri yang menyalahkan korban,” tuturnya dalam wawancara dengan Dawn News.
Ruang Aman: Solusi atau Sekadar Utopia?
Bagaimana sebenarnya peluang agar media sosial bisa lebih ramah perempuan di Pakistan? Kuncinya, menurut DRF, adalah edukasi dan solidaritas—tidak hanya dari perempuan ke perempuan, tapi juga melibatkan laki-laki sebagai ally. Perlindungan hukum perlu ditingkatkan, termasuk pelatihan khusus untuk aparat penegak hukum agar paham urgensi cybercrime berbasis gender.
Teknologi harus dibuat lebih akomodatif, misal lewat fitur report yang lebih mudah, atau penyaringan konten yang proaktif terhadap toxic comment. Di sisi lain, platform media sosial global perlu lebih tegas menindak akun-akun pelaku kekerasan daring. Bahkan, praktik baik dari komunitas online justru lahir dari grassroot, seperti grup dukungan berbasis WhatsApp yang menjaga anonimnya korban dan saling trust.
Kesimpulan: Bukan Sekadar Isu Teknologi, Tapi Isu Kemanusiaan
Akhir kata, ketika bicara soal keamanan perempuan di media sosial Pakistan, ini bukan lagi isu teknologi semata. Ada lapisan kemanusiaan, nilai, sosial, dan hukum yang harus dijawab bersama. Media sosial memang bisa jadi alat pemberdayaan, tapi tanpa proteksi nyata, ia justru jadi medan perang yang tak kasat mata.
Oh ya, sebelum lanjut scroll, cobain juga rekomendasi seru buat kamu yang suka nge-game bareng teman: Los303 jadi pilihan asyik untuk main bareng sambil recharge energi di sela-sela rutinitas online kamu!
Post Comment