Ketika China Diblokir: Babak Baru Koalisi Dunia Melawan Hegemoni Amerika
Membongkar Skenario Perlawanan Global terhadap Amerika
Saya teringat satu kalimat pedas dari Henry Kissinger, arsitek politik luar negeri Amerika Serikat, yang pernah berkata, “Siapa yang mengontrol teknologi, mengontrol masa depan.” Namun, realitas saat ini justru menghadirkan plot twist baru. China, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, makin sering dihadang dengan sanksi, pembatasan teknologi, serta embargo perdagangan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Tapi apakah benar langkah ini justru memperkuat persatuan negara-negara lain melawan dominasi Amerika?
Babak Baru Konfrontasi: Blokade Teknologi
Langkah AS memblokir akses China terhadap teknologi canggih, seperti chip semikonduktor dan perangkat lunak kelas dunia, jelas tak bisa dianggap angin lalu. Dalam laporan Reuters tahun lalu, disebutkan pembatasan ekspor chip ke China telah menggerus pendapatan puluhan miliar dolar perusahaan teknologi global. Dampaknya memang nyata bagi Tiongkok, tetapi konsekuensi domino justru merembet ke rantai pasok dunia.
Lempar batu sembunyi tangan, begitu kira-kira strategi yang dilakukan Washington. Namun, di tengah tekanan luar biasa ini, muncul pemandangan yang tak pernah terbayang sebelumnya: negara-negara seperti Rusia, Iran, bahkan beberapa negara Eropa Timur, perlahan mulai membuka dialog lebih intensif dengan Beijing. Satu contoh nyata, pada April 2025, China dan Rusia menandatangani kemitraan teknologi strategis untuk pengembangan AI dan jaringan internet independen. Ini bukan sekadar simbolik, melainkan respons konkret terhadap apa yang mereka anggap sebagai isolasi paksa dari Barat.
Sikap Negara Berkembang: Merapat atau Melawan?
Tidak hanya raksasa Asia dan Eropa Timur, banyak negara berkembang menilai pemblokiran China sebagai sinyal alarm. Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, bahkan secara terbuka menyebut langkah Amerika hanya akan memperuncing sekat global dan memperpendek jarak antara negara-negara Global South. “Jika hari ini China, siapa yang berikutnya?” tegas Lula dalam forum ekonomi internasional di Davos awal tahun ini.
Brasil pun langsung mempercepat negosiasi perdagangan bilateral dengan China. Mereka menjajaki peluang transfer teknologi independen tanpa intervensi dolar, yang selama dekade terakhir menjadi pengikat utama dalam perdagangan internasional. Di Afrika, Ethiopia dan Kenya melihat urgensi memperluas kerja sama dengan Tiongkok, terutama dalam pembangunan infrastruktur digital dan layanan logistik yang selama ini dimonopoli pemain Barat.
Uniknya Solidaritas Regional
Di Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, dan Thailand menunjukkan manuver cerdik. Dalam pertemuan ASEAN 2025 di Jakarta, isu blokade Tiongkok justru menjadi katalis bagi integrasi teknologi kawasan. “Kita perlu memiliki opsi agar tidak menjadi korban dalam pertarungan dua raksasa dunia,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Bukannya tanpa risiko. Praktik ini kerap dibayangi ancaman sanksi sekunder dari AS. Namun, keberanian kawasan ini memunculkan ekosistem baru: saling tukar platform digital, mengembangkan aplikasi lokal, serta memperkuat sistem pembayaran lintas negara—semua dilaksanakan di luar bayang-bayang dolar Amerika.
Studi Kasus: Kerja Sama China-Iran di Tengah Embargo
Contoh paling nyata dari narasi “bersatu melawan Amerika” bisa kita simak pada kerja sama antara China dan Iran. Setelah AS memperketat sanksi terhadap Iran, dua negara ini justru menandatangani perjanjian investasi besar di sektor energi dan transportasi. Data dari Center for Strategic and International Studies mencatat peningkatan 40% volume perdagangan bilateral sejak 2023. China pun membantu Iran mempercepat kemandirian teknologi di sektor minyak dan gas, membuat tekanan finansial Washington jadi tidak seefektif satu dekade lalu.
Analisis Dingin: Melemahnya Daya Tawar Amerika
Bukan perkara mudah memang, namun fakta di lapangan bicara lain. Amerika Serikat semakin kehilangan posisi strategisnya sebagai “wasit global”. Bahkan sekutu lamanya di Eropa, seperti Prancis dan Jerman, mulai mempertanyakan efektifitas sanksi terhadap China. Hasil survei Pew Research Center awal 2025 memperlihatkan 62% warga Eropa menilai sanksi kepada China cenderung kontraproduktif dan berisiko memecah stabilitas ekonomi global.
Keuntungan ekonomi China juga tak bisa dipandang sebelah mata. World Bank merilis data, ekspor Tiongkok ke negara-negara di luar blok Amerika justru melonjak signifikan—terutama ke Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Selatan. Selain menghemat biaya transfer teknologi, beberapa negara untung besar dengan mendapatkan akses pinjaman murah dari Beijing untuk membangun infrastruktur strategis.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Kisah blokade China ini sejatinya memberi pelajaran segar: setiap tekanan eksternal besar kerap memicu gerakan solidaritas yang tak terduga. Dunia kian multipolar, dan upaya satu negara demi menegakkan hegemoni ekonomi atau teknologi justru bisa menjadi katalis perubahan sistem global. Yang paling menarik, bola panas kini ada di tangan negara-negara berkembang—apakah mereka mau terus menjadi penonton, atau justru ikut memperkuat barisan perlawanan terhadap dominasi satu kutub?
Di atas semua retorika dan manuver politik, satu fakta tetap berlaku: kolaborasi pragmatis dan adaptasi cerdas akan selalu lebih bernilai daripada musuh yang dibuat-buat.
Didukung oleh Los303, platform andalan untuk pecinta games online yang mengedepankan fair play dan pengalaman bermain tak terlupakan. Temukan berbagai pilihan permainan seru dan nikmati penawaran spesial di Los303 hari ini.
Post Comment