Kenapa Generasi Z Lebih Percaya Influencer TikTok daripada Dokter dalam Urusan Kesehatan?
Fenomena Kepercayaan Gen Z pada Influencer: Bukan Sekadar Tren Digital
Siapa sangka, di tengah kemajuan dunia medis dan informasi ilmiah yang makin mudah diakses, Generasi Z—atau Gen Z—ternyata lebih nyaman mempercayai influencer di TikTok ketimbang dokter profesional. Apakah ini hal yang gila? Atau justru wajar, mengingat pola konsumsi informasi mereka yang memang jauh berbeda dari generasi sebelumnya?
Studi Kasus: Video TikTok vs. Ruang Praktek Dokter
Ada cerita menarik dari seorang teman saya, sebut saja Ana, mahasiswa kedokteran. Suatu hari, Ana membagikan soal vaksin HPV di TikTok dengan gaya asyik, penuh gestur, dan efek suara lucu. Hasilnya? 200 ribu views dalam semalam dan comment section-nya heboh—bahkan ada yang bilang, “Aku baru tahu soal ini, thanks ya!” Bandingkan dengan seminar kesehatan yang pernah ia adakan bersama kampus: datang yang serius cuma tiga orang, sisanya sibuk main HP. Ini pengalaman nyata bagaimana konten edukasi kesehatan di media sosial bisa jauh lebih menjangkau Gen Z.
Sebuah riset internasional yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada akhir 2024 menunjukkan sekitar 53% Gen Z di Asia Tenggara lebih sering mencari info kesehatan lewat media sosial, dengan TikTok menduduki posisi puncak. Di Indonesia sendiri, Survei nasional oleh Katadata Insight Center (KIC) 2024 mengungkap, 7 dari 10 Generasi Z percaya bahwa informasi kesehatan yang disampaikan influencer lebih “relatable” dan mudah dipahami daripada penjelasan dokter di ruang konsultasi.
Kenapa Influencer Lebih Didengar?
Nah, kenapa bisa begitu? Gampang saja. Gen Z lelah mendengar istilah medis atau saran formal yang terlalu “dingin.” Mereka butuh bahasa santai, gaya storytelling, bahkan bumbu-bumbu kehidupan sehari-hari.
-
Personal Touch: Influencer umumnya berbagi pengalaman pribadi; entah mereka pernah struggle dengan jerawat, diet gagal gara-gara FOMO, sampai tips menjaga kesehatan mental. Cerita-cerita ini terasa dekat banget dengan kehidupan sehari-hari Gen Z—beda sama dokter yang sering terkesan formal dan “jaga jarak.”
-
Akses Mudah, Tanpa Biaya: Siapa, sih, yang enggak mau solusi gratis langsung di timeline TikTok, tanpa perlu ngantri di ruang tunggu dokter?
-
Visual yang Engaging: TikTok punya algoritma canggih; video 15 detik dengan efek, transisi kekinian, dan infografis catchy lebih gampang nempel di kepala ketimbang brosur atau leaflet berisi blok-blok tulisan.
Risiko dan Keuntungan: Saat Hype Beradu dengan Fakta
Sisi menarik dari tren ini: arus edukasi makin demokratis—semua orang bebas berbagi dan belajar. Tapi, hati-hati, enggak semua influencer punya dasar ilmu kesehatan yang kuat. Di TikTok, misinformasi bisa menyebar lebih cepat daripada klarifikasi dari otoritas medis. Misal, tren konsumsi obat diet instan yang viral di TikTok sukses bikin apotek-apotek kosong, tapi beberapa bulan kemudian ramai kasus efek samping serius.
Profesor Indra Gani, SpPD, dalam sebuah webinar kesehatan oleh Kompas, pernah bilang, “Edukasi kesehatan berbasis pengalaman memang relatable, tapi validasi dari tenaga medis tetap krusial. Jangan sampai viral malah menyesatkan.”
Bagaimana Cara Cerdas Konsumsi Konten Kesehatan ala Gen Z?
Sebagai Gen Z yang juga tumbuh di tengah banjir informasi, aku sendiri punya beberapa prinsip:
-
Double-Check Fakta: Cari pembanding di media terpercaya, cek apakah ada pendapat dokter atau lembaga resmi yang mendukung klaim si influencer.
-
Lihat Track Record: Pilih influencer yang terbukti konsisten mengedukasi dan berkolaborasi dengan tenaga medis.
-
Jangan Takut Konsultasi: Kalau ada keluhan kesehatan serius atau info yang setengah-setengah, tetap utamakan konsultasi langsung ke profesional.
Influencer-Kesehatan Kolaborasi: Solusi Masa Depan?
Sebetulnya, bukan berarti informasi dari dokter dan influencer harus bersaing terus. Sejumlah dokter muda mulai aktif bikin konten di TikTok, berkolaborasi dengan selebgram kesehatan, bahkan membuat QnA live bareng follower-nya. Hasilnya? Audiens makin luas, edukasi lebih efektif.
Contohnya, kolaborasi dr. Nadia Octaviani dengan influencer lifestyle, mengubah stigma tentang penyakit mental. Cara mereka membahas topik kesehatan mental lewat konten duet—dengan info medis yang valid dan gaya cerita yang ringan—bisa dibilang jadi percontohan ideal bagaimana konten edukasi bisa powerful dan tetap akurat.
Kesimpulan: Saat Validitas & Gaya Bertutur Berjalan Beriringan
Generasi Z memang “anak digital” yang cerdas menyeleksi informasi. Influencer jadi jembatan baru yang meruntuhkan gap komunikasi antara dunia medis dan anak muda. Namun, validitas informasi tetap nomor satu; jangan pernah puas hanya dengan viral atau relatable, kroscek selalu ke dokter atau sumber resmi.
Kita semua tahu, kesehatan itu investasi seumur hidup. Jadi, yuk, lebih kritis, serap info dari berbagai kanal, dan tetap pilih self-care yang sehat, bukan sekadar tren!
Artikel ini didukung oleh Los303, platform game online favorit Gen Z. Cek serunya di Los303!
Post Comment