Media sosial telah merevolusi cara manusia berinteraksi, berbagi informasi, dan membangun jejaring. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan arus informasi, terselip bahaya laten: penipuan yang kian marak dan sulit dikendalikan. Sebagai praktisi keamanan digital, saya melihat fenomena ini bukan sekadar isu teknologi, melainkan persoalan sosial yang kompleks, memerlukan pemahaman mendalam dan respons kolektif.

Media Sosial: Lahan Subur Penipuan Digital

Pertumbuhan pesat pengguna media sosial di Indonesia—mencapai 160 juta orang pada 2020 dan terus meningkat—menciptakan ekosistem yang ideal bagi pelaku penipuan. Platform seperti WhatsApp, Instagram, Facebook, dan Telegram menjadi kanal utama, bukan hanya untuk komunikasi, tetapi juga untuk menjalankan berbagai modus kejahatan daring. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, kerugian akibat penipuan online di Indonesia mencapai Rp2,3 triliun hanya dalam kurun waktu November 2024 hingga Mei 2025, dengan ribuan kasus dilaporkan berasal dari media sosial.

Mengapa Media Sosial Efektif Menyebarkan Penipuan?

Ada beberapa alasan utama mengapa media sosial sangat efektif digunakan untuk penipuan:

  • Anonimitas dan Identitas Palsu: Pelaku dapat dengan mudah membuat akun samaran, meniru identitas orang lain, bahkan lembaga resmi. Ini membuat pelacakan dan pengaduan menjadi sulit.
  • Jangkauan Luas dan Viralitas: Satu pesan atau posting dapat menyebar ke ribuan bahkan jutaan orang dalam hitungan detik, memperbesar peluang korban baru.
  • Minimnya Pengawasan: Tidak ada sensor atau kontrol yang ketat, sehingga konten penipuan bisa beredar bebas sebelum akhirnya ditindaklanjuti.
  • Manipulasi Psikologis: Pelaku memanfaatkan teknik social engineering, membangun kepercayaan, dan menekan psikologis korban agar mudah terjebak.

Frida Kusumastuti, dosen komunikasi dan pegiat literasi digital UMM, menegaskan, “Melalui media sosial, pelaku bisa membuat nama samaran, sulit diawasi, dan jangkauannya sangat luas. Modus paling sering adalah catfishing, penawaran barang, pinjaman uang, hingga permintaan amal”.

Modus Penipuan yang Sering Menyebar di Media Sosial

Penipuan di media sosial sangat beragam dan terus berevolusi. Berikut beberapa modus yang paling sering ditemui, didukung data dan studi kasus terbaru:

  1. Penipuan Jual Beli Online: Akun toko palsu menawarkan produk dengan harga murah. Setelah pembayaran, barang tidak pernah dikirim atau yang datang tidak sesuai pesanan. Studi kasus terbaru menimpa seorang wartawan nasional yang kehilangan Rp66,5 juta setelah bertransaksi dengan akun Instagram @fashion_women.id. Modus serupa juga terjadi dengan akun @myeshafashion_ yang mengaku sebagai petugas Bea Cukai untuk menekan korban membayar biaya tambahan.
  2. Undian dan Giveaway Bodong: Penipu mengirim pesan bahwa korban memenangkan hadiah besar. Untuk klaim, korban diminta membayar biaya administrasi atau memberikan data pribadi. Modus ini sangat efektif karena memanfaatkan psikologi harapan dan ketamakan manusia.
  3. Investasi Bodong dan Trading Palsu: Kasus penipuan trading saham dan kripto yang diiklankan di Facebook, Instagram, atau WhatsApp, telah merugikan korban hingga ratusan miliar rupiah. Pelaku menawarkan profit instan, mengarahkan korban ke grup chat tertutup, dan akhirnya membawa kabur dana investasi.
  4. Modus Like dan Follow Dibayar: Viral di Telegram dan Instagram, korban diundang ke grup untuk mendapat bayaran dari aktivitas like atau follow. Awalnya korban mendapat komisi kecil, lalu diminta deposit lebih besar dengan janji keuntungan berlipat, namun akhirnya uang hilang tanpa jejak.
  5. Penipuan Berkedok Lowongan Kerja: Penawaran kerja paruh waktu atau freelance yang menggiurkan, di mana korban diminta membayar biaya pendaftaran atau membeli alat kerja palsu. Sindikat internasional bahkan terungkap di Indonesia dengan kerugian hingga Rp1,5 triliun.
  6. Phishing dan Social Engineering: Penipu mengirimkan pesan atau tautan yang tampak resmi, mengarahkan korban ke situs palsu untuk mencuri data pribadi atau akses akun. Modus ini sangat berbahaya karena seringkali tidak terdeteksi oleh korban hingga terlambat.

Dampak Sosial dan Psikologis Penipuan di Media Sosial

Penipuan di media sosial bukan hanya soal kerugian materi. Banyak korban mengalami trauma, kehilangan kepercayaan, bahkan depresi. Selain itu, maraknya penipuan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media sosial sebagai sarana transaksi dan komunikasi.

Penelitian terbaru dari International Journal Administration, Business & Organization (2024) menunjukkan media sosial mempengaruhi terjadinya scam online sebesar 27,3%. Lebih lanjut, perilaku konsumsi masyarakat juga dipengaruhi oleh eksposur terhadap penipuan di media sosial hingga 45,8%. Data ini menegaskan bahwa media sosial bukan sekadar alat, tetapi juga faktor yang membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat.

Faktor Penyebab Maraknya Penipuan di Media Sosial

  • Rendahnya Literasi Digital: Banyak pengguna belum mampu memilah informasi dan membedakan mana yang asli dan palsu.
  • Kurangnya Pengawasan dan Regulasi: Pengawasan terhadap aktivitas di media sosial masih lemah, baik dari platform maupun otoritas hukum.
  • Budaya “FOMO” dan Keinginan Instan: Keinginan untuk tidak ketinggalan tren atau memperoleh keuntungan cepat membuat banyak orang abai pada risiko.
  • Teknologi yang Kian Canggih: Deepfake, AI, dan otomatisasi membuat penipuan makin sulit dideteksi secara manual.

Strategi Pencegahan dan Perlindungan

Menghadapi gelombang penipuan yang semakin canggih, berikut langkah-langkah yang dapat diambil oleh individu dan masyarakat:

  • Tingkatkan Literasi Digital: Pelajari cara memverifikasi informasi, kenali ciri-ciri akun palsu, dan waspadai tawaran yang terlalu bagus untuk jadi kenyataan.
  • Gunakan Platform Resmi: Lakukan transaksi hanya melalui kanal yang memiliki perlindungan konsumen.
  • Laporkan dan Edukasi: Segera laporkan akun atau postingan mencurigakan, serta edukasi lingkungan sekitar tentang modus-modus penipuan terbaru.
  • Aktifkan Keamanan Ganda: Gunakan autentikasi dua faktor dan perbarui password secara berkala.
  • Kritis dan Tidak Mudah Percaya: Jangan pernah memberikan data pribadi atau mentransfer uang pada pihak yang tidak jelas, meski tampak meyakinkan.

Kesimpulan: Peran Kolektif dalam Melawan Penipuan Digital

Media sosial telah menjadi pedang bermata dua: di satu sisi mempercepat arus informasi dan membuka peluang, di sisi lain menjadi wahana subur bagi penipuan yang merugikan banyak orang. Data dan studi kasus membuktikan, tanpa literasi digital, pengawasan, dan sikap kritis, siapa pun bisa menjadi korban. Sudah saatnya masyarakat, platform, dan regulator bersinergi membangun ekosistem digital yang aman dan terpercaya—karena di era digital, keamanan adalah tanggung jawab bersama.

“Kasus scam online ini khususnya pada e-commerce termasuk kasus yang paling banyak diadukan karena fitur-fitur media sosial semakin canggih sehingga mampu dimanfaatkan para pelaku scam online untuk melancarkan aksi mereka.”
— Tulus Abadi, Ketua Harian YLKI

Mari jadikan media sosial sebagai alat yang memberdayakan, bukan menjerat.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *