Kopi Nongkrong dan Gairah Industri Gen Z dan Milenial – Kopi bukan lagi komoditas semata, melainkan bak roh bagi banyak orang, utamanya anak muda. Tanpa kopi, hidup terasa hampa.
Apresiasi pada kopi mendorong anak muda itu menciptakan beragam gebrakan baru yang menggairahkan industri kopi dalam negeri.
Dengan populasi rajaburma88 Indonesia yang mayoritas Muslim, kedai-kedai kopi jadi tempat nongkrong, bahkan ruang publik bagi mereka. Hal ini berbeda dengan negara-negara non-Muslim yang memanfaatkan bar.
Dalam laman Statista, kenaikan konsumsi kopi dalam negeri berkontribusi pada tumbuhnya kafe dan kedai kopi lain yang digerakkan dan menyasar anak-anak muda. Pada 2022, kafe dan bar di Indonesia tercatat mencetak nilai penjualan (sales value)sekitar 1,9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 30,2 triliun. Pasar ini diperkirakan masih akan tumbuh hingga 3,8 miliar dollar AS pada 2026.
Hal tu dimungkinkan karena dalam piramida penduduk, anak muda mendominasi jumlah penduduk di Tanah Air. Komposisi antara generasi (gen) Z yang lahir pada 1997-2021 dan generasi milenial yang lahir pada 1981-1996 hampir setara. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, populasi gen Z mencapai 74,93 juta jiwa pada 2020 atau 27,9 persen komposisi penduduk sekaligus menjadi kelompok terbesar di Indonesia. Tepat di bawahnya ada generasi milenial yang mencapai 69,38 juta jiwa atau 25,87 persen dari total penduduk.
Mereka dengan mudah ditemukan di kedai-kedai kopi yang tersebar di banyak penjuru negeri. Keberadaannya membawa perubahan tren kopi yang begitu cepat. Banyak kafe dan kedai kopi terus bermunculan, bahkan menjamur di berbagai kota untuk memenuhi pasar kelompok dominan, yakni anak muda.
Anak-anak muda bahkan rela mengeluarkan 3-6 persen pendapatannya per bulan untuk mengonsumsi kopi. Sebab, komoditas itu telah menjadi bagian dari gaya hidupnya.
Sekar Kinasih yang akrab disapa Kinkin (27), seorang karyawan swasta, mengatakan, kopi telah menjadi alat untuk bersosialisasi. Baginya, kopi tak hanya sekadar menyeruput minuman, tetapi bisa dimaknai lebih dalam. ”Akhir-akhir ini, sepertinya kata ‘ngopi’ sama dengan nongkrong meski kita enggak selalu pesan kopi. Ketemu dengan orang-orang juga di coffee shop,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (21/10/2023).
Perjumpaan dengan sesama di kedai kopi dinilainya dapat diterima seluruh kalangan ketimbang bertemu di bar. Kedai dinilai lebih ”ramah” sehingga kopi memang cocok jadi kawan bersantai.
Hampir saban hari, ia berangkat kerja ditemani segelas kopi dan roti. Rata-rata, Kinkin menghabiskan minimal Rp 100.000 per pekan untuk mengonsumsi kopi. Tak heran, pengeluarannya berbelanja kopi berkisar 5-6 persen dari pendapatannya per bulan.
Kecintaan Kinkin terhadap kopi dipengaruhi pula oleh lingkungan pertemanannya selama ini. Ia juga bergaul dengan barista sehingga menambah pengetahuannya tentang kopi. Baginya, kopi sebagai budaya sekaligus menunjukkan nilai diri seseorang di hadapan orang lain.
Sebagai contoh, seseorang yang minum kopi bermerek internasional dirasa dapat meningkatkan kepercayaan diri dan gengsinya ketika dilihat sesamanya. Selain itu, kopi bisa jadi medium seseorang untuk bersosialisasi.
Hal senada diutarakan karyawan swasta lainnya, Charolina Septiayuka (27). Kopi telah menjadi bagian hidupnya karena mampu mendongkrak energinya. Penyuka kopi americano ini mencari kafein dalam tiap gelas yang diseruputnya. Produk ini juga telah mengakar dalam kehidupan sehari-harinya.
”Sudah jadi kebiasaan kalau tiap hari beli kopi. Kalau enggak beli kopi, ada yang kurang, rasanya aneh banget enggak ada tentengan,” kata Yuka.
Dalam sekali transaksi, ia merogoh kocek berkisar Rp 20.000 hingga Rp 60.000 per gelas. Ia bisa mengonsumsi kopi 1-2 gelas per hari.
Kafe kopi pun menjadi erat dengannya sebagai pekerja. Kesempatan bekerja dari mana saja yang diterapkan kantornya memberi kesempatan dirinya untuk bekerja di kafe. Selain itu, kafe juga menjadi tempat untuk berdisuksi dengan klien-kliennya.
Moelyono Soesilo dalam bukunya bertajuk ”Kopi Kita: Geliat, Hype, dan Karut-marut Masalahnya” mengatakan, banyaknya kedai kopi instagramable dan kekinian sejak lima tahun terakhir adalah hasil perubahan tren kopi.
”Saat ini, kebanyakan penikmat kopi adalah kaum milenial, begitu pula pemilik kedai kopi banyak yang berasal dari kaum milenial. Maka, tak heran bila kaum milenial dianggap telah mewarnai, bahkan mendominasi tren kopi di Indonesia,” tuturnya.
Anak-anak milenial ini pun disebut sebagai penggerak perkembangan kopi gelombang ke-4. Moelyono, dalam buku yang sama, menyebut, gelombang pertama adalah saat kopi yang dikemas dalam kaleng berukuran sekitar 1 kilogram. Kemudian, berkembang jadi kopi saset atau kopi instan. Konsumen dapat menyeduh kopi dengan cepat dan mudah.
Gelombang kedua terjadi karena cita rasa kopi instan di bawah ekspektasi, penikmat kopi mulai memperhatikan kualitas rasa kopi. Akhirnya, kopi instan bergeser jadi kopi berbasis espresso. Dalam tahap ini, bisnis kedai kopi mulai tumbuh, bahkan menjamur. Profesi barista juga mulai dilirik, serta berperan mengedukasi konsumen sekaligus memasarkan produknya.
Adapun gelombang ketiga adalah situasi ketika konsumen ingin tahu cerita di balik kopi yang diseduh, mulai dari tangan yang menanam, memanen, menyangrai, dan eksplorasi keunikan karakter kopi. Inilah fase ketika konsumen mengapresiasi kopi.
Dikutip dari Statista, gelombang 4 terjadi saat paparan terhadap tren konsumsi internasional telah membuat anak muda Indonesia menciptakan kopinya sendiri dengan cita rasa lokal. Cabang kedai-kedai kopi lokal berhasil menggeser merek-merek internasional.